Profil Desa Jatisaba
Ketahui informasi secara rinci Desa Jatisaba mulai dari sejarah, kepala daerah, dan data lainnya.
Tentang Kami
Desa Jatisaba, desa penyangga di seberang Sungai Klawing, menyeimbangkan pesona agraris dengan dinamika urban. Terhubung oleh jembatan vital, desa ini menjadi hunian tenang bagi komuter kota sambil menjaga warisan sejarah dan ekonomi lokalnya.
-
Desa Penyangga di Seberang Sungai
Lokasi geografisnya yang terpisah oleh Sungai Klawing dari pusat kota mendefinisikan Jatisaba sebagai "desa penyangga" yang menjadi zona transisi antara wilayah urban dan rural.
-
Ekonomi Komuter dan Agraris
Perekonomiannya bersifat campuran, dengan sebagian besar penduduk bekerja sebagai komuter di pusat kota, sementara sebagian kecil lahan masih dimanfaatkan untuk pertanian, ditopang oleh UMKM lokal.
-
Warisan Sejarah dan Keterhubungan Vital
Nama desa ini berasal dari kisah pohon jati bersejarah sebagai tempat berkumpul, dan kini kehidupannya sangat bergantung pada Jembatan Jatisaba sebagai satu-satunya penghubung vital ke pusat ekonomi dan layanan kota.

Terletak di seberang bentangan Sungai Klawing yang memisahkannya dari denyut pusat kota, Desa Jatisaba hadir dengan karakter yang unik dan khas. Sebagai sebuah desa penyangga di Kecamatan Purbalingga, Jatisaba menjadi cerminan sebuah wilayah yang hidup di antara dua dunia: pesona ketenangan pedesaan dengan hamparan sawahnya yang subur dan tarikan kuat dari dinamika ekonomi urban yang berada tepat di seberang jembatan. Desa ini bukan hanya sekadar wilayah administratif, melainkan sebuah ruang transisi di mana tradisi agraris bertemu dengan realitas modern sebagai kantong permukiman bagi para komuter kota.
Dengan nama yang sarat akan makna sejarah dan posisi geografis yang definitif, profil Desa Jatisaba menyajikan sebuah narasi tentang keseimbangan. Keseimbangan antara menjaga warisan leluhur dan merespons tuntutan zaman, antara memanfaatkan berkah sungai dan memitigasi risikonya, serta antara mempertahankan identitas desa dan menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem besar Kota Purbalingga.
Pohon Jati Keramat: Asal-Usul Nama dan Warisan Sejarah
Seperti banyak wilayah di Jawa, nama Jatisaba terlahir dari perpaduan antara unsur alam dan aktivitas manusia yang melegenda. Nama desa ini berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: "Jati", yang merujuk pada pohon jati (Tectona grandis) yang kokoh dan bernilai tinggi, dan "Saba", yang memiliki arti mengunjungi, singgah, atau tempat berkumpul. Secara harfiah, "Jatisaba" dapat diartikan sebagai "tempat singgah di bawah pohon jati" atau "pohon jati yang sering dikunjungi".
Menurut cerita tutur yang diwariskan antar generasi, di wilayah ini dahulu kala berdiri sebatang pohon jati yang sangat besar dan rindang. Pohon ini menjadi tengaran (landmark) alam yang penting bagi para pelancong, pedagang, dan bahkan para utusan dari pemerintahan masa lalu yang melintasi wilayah tersebut. Di bawah naungan pohon jati inilah mereka biasa beristirahat (saba) untuk melepas lelah sebelum melanjutkan perjalanan atau menyeberangi Sungai Klawing. Karena begitu seringnya pohon tersebut menjadi tempat berkumpul dan singgah, maka wilayah di sekitarnya pun kemudian dikenal dengan sebutan Jatisaba. Warisan ini menanamkan karakter Jatisaba sebagai tempat yang terbuka, ramah, dan menjadi titik pertemuan.
Geografi Tepi Sungai dan Peran sebagai Penyangga Kota
Ciri geografis paling menonjol dari Desa Jatisaba ialah lokasinya yang berada di tepi selatan Sungai Klawing, berseberangan langsung dengan pusat keramaian kota seperti Kelurahan Penambongan. Pemisahan fisik oleh sungai ini menjadikan Jatisaba sebuah enklave yang relatif tenang, namun terhubung secara vital oleh Jembatan Jatisaba. Jembatan ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan urat nadi yang menyambungkan kehidupan sosial dan ekonomi warga Jatisaba dengan pusat kota.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi "Kecamatan Purbalingga dalam Angka 2024", Desa Jatisaba memiliki luas wilayah 1,05 km². Di atas lahan ini, bermukim penduduk sebanyak 2.752 jiwa. Hal ini menghasilkan tingkat kepadatan penduduk sekitar 2.621 jiwa per km². Angka ini menunjukkan karakter Jatisaba sebagai desa suburban yang cukup padat, namun masih menyisakan ruang terbuka hijau yang lebih luas dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan di pusat kota.
Struktur administrasi desa ini terdiri dari 2 Dusun, 4 Rukun Warga (RW), dan 12 Runyai Tetangga (RT). Kode pos untuk wilayah Desa Jatisaba ialah 53315. Keberadaan Sungai Klawing memberikan dualisme peran bagi desa ini. Di satu sisi, aliran sungai menyediakan irigasi bagi lahan-lahan pertanian yang masih tersisa, menjadikannya subur. Di sisi lain, potensi bencana banjir luapan menjadi ancaman tahunan yang harus selalu diwaspadai oleh warga dan pemerintah desa, yang seringkali diatasi melalui pembangunan talud atau tanggul penahan sungai.
Ekonomi Transisi: Dari Sawah ke Gerbang Pabrik
Perekonomian di Desa Jatisaba menggambarkan sebuah potret transisi yang menarik. Berbeda dengan desa tetangganya seperti Toyareja yang telah bertransformasi total menjadi desa industri, Jatisaba masih mempertahankan sebagian dari napas agrarisnya sambil menyerap pengaruh ekonomi perkotaan.
Struktur ekonomi desa ini dapat diuraikan sebagai berikut:
- Sektor PertanianSebagian kecil lahan di Desa Jatisaba, terutama yang berdekatan dengan bantaran sungai, masih dimanfaatkan sebagai sawah tadah hujan. Aktivitas pertanian ini, meskipun tidak lagi menjadi tulang punggung utama, tetap menjadi bagian dari identitas dan lanskap desa.
- Kaum KomuterMayoritas angkatan kerja di Jatisaba merupakan kaum komuter. Setiap hari, mereka menyeberangi Jembatan Jatisaba untuk bekerja di berbagai sektor di pusat kota, mulai dari pegawai di kantor pemerintahan, pedagang di pasar, hingga buruh di pabrik-pabrik yang berlokasi di Toyareja atau Wirasana. Desa ini berfungsi sebagai "daerah penyangga residensial" yang strategis dan lebih terjangkau.
- UMKM LokalDi tengah arus komuter tersebut, ekonomi lokal tetap berdenyut melalui Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Usaha ini umumnya berbasis rumah tangga, seperti produksi makanan ringan tradisional (misalnya manco), warung kelontong, jasa penatu (laundry), dan usaha-usaha lain yang melayani kebutuhan komunitas internal.
Model ekonomi campuran ini menjadikan Jatisaba sebuah desa yang resilien, tidak bergantung pada satu sektor tunggal, namun sangat terintegrasi dengan kesehatan ekonomi pusat kota Purbalingga.
Pemerintahan Desa dan Pembangunan Infrastruktur Perbatasan
Sebagai sebuah wilayah otonom, Desa Jatisaba dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih langsung oleh warganya. Saat ini, tampuk pimpinan Pemerintah Desa Jatisaba dipegang oleh Karsidi. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah desa ialah mengelola posisi unik Jatisaba sebagai wilayah perbatasan antara desa dan kota.
Prioritas pembangunan di Desa Jatisaba seringkali berfokus pada:
- Pemeliharaan Infrastruktur KonektivitasMemastikan kondisi jalan desa dan terutama akses menuju Jembatan Jatisaba selalu dalam kondisi baik untuk menunjang kelancaran aktivitas warga komuter.
- Mitigasi BencanaMengalokasikan sebagian Dana Desa untuk program-program mitigasi bencana, khususnya pembangunan dan perbaikan tanggul penahan erosi di sepanjang tepi Sungai Klawing untuk melindungi permukiman dan lahan pertanian.
- Menjaga Keseimbangan LingkunganMengelola tekanan pembangunan perumahan baru dari perkotaan agar tidak menggerus lahan hijau yang tersisa dan tetap menjaga Jatisaba sebagai kawasan hunian yang asri dan nyaman.
- Pemberdayaan Ekonomi LokalMendorong dan membina UMKM lokal agar dapat berkembang dan menjadi sumber pendapatan alternatif bagi warga, mengurangi ketergantungan penuh pada pekerjaan di luar desa.
Sebagai kesimpulan, Desa Jatisaba merupakan sebuah contoh nyata dari sebuah desa penyangga yang berhasil menyeimbangkan berbagai peran. Ia adalah saksi sejarah yang namanya terukir dari sebatang pohon jati, sekaligus menjadi saksi kehidupan modern di mana warganya setiap hari melintasi batas geografis dan ekonomi. Dengan tetap mempertahankan sebagian pesona agrarisnya, Jatisaba menawarkan sebuah alternatif hunian yang lebih tenang bagi hiruk pikuk kota, menjadikannya sebuah jembatan—baik secara harfiah maupun kiasan—antara dua corak kehidupan yang berbeda namun saling melengkapi.